Dengan adanya perubahan dinamika politik dan sistem
politik di Indonesia yang lebih demokratis, memberikan pengaruh kepada
masyarakat untuk menerapkan suatu mekanisme politik yang dipandang lebih
demokratis. Dalam konteks politik lokal Desa Kedungsalam, hal ini tergambar
dalam pemilihan kepala desa dan pemilihan-pemilihan lain (pilleg, pilpres,
pilkada, dan pilgub) yang juga melibatkan warga masyarakat desa secara umum.
Khusus untuk pemilihan kepala Desa Kedungsalam,
sebagaimana tradisi kepala desa di Jawa, biasanya para peserta (kandidat) nya
adalah mereka yang secara trah memiliki hubungan dengan elit kep bahwa jabatan
kepala desa adalah jabatan garis tangan keluarga-keluarga tersebut. Fenomena
inilah yang biasa disebut pulung –dalam tradisi jawa- bagi
keluarga-keluarga tersebut.
Jabatan kepala desa merupakan jabatan yang tidak serta
merta dapat diwariskan kepada anak cucu. Mereka dipilh karena kecerdasan, etos
kerja, kejujuran dan kedekatannya dengan warga desa.
Kepala
desa bisa diganti sebelum masa jabatannya habis, jika ia melanggar peraturan
maupun norma-norma yang berlaku. Begitu pula ia bisa diganti jika ia
berhalangan tetap. Karena demikian, maka setiap orang yang memiliki dan
memenuhi syarat-syarat yang sudah ditentukan dalam perundangan dan peraturan
yang berlaku, bisa mengajukan diri untuk mendaftar
menjadi
kandidat kepala desa. Fenomena ini juga terjadi pada pemilihan Desa Kedungsalam
pada tahun 2013. Pada pilihan kepala desa ini partisipasi masyarakat sangat
tinggi, yakni hampir 95%. Tercatat ada dua kandidat kepala desa pada waktu itu
yang mengikuti pemilihan kepala desa. Pilihan kepala Desa bagi warga masyarakat
Desa Kedungsalam seperti acara perayaan desa.
Pada bulan Juli dan Nopember 2013 ini masyarakat juga
dilibatkan dalam pemilihan Gubernur Jawa Timur putaran I dan II secara
langsung. Walaupun tingkat partisipasinya lebih rendah dari pada pilihan kepala
Desa, namun hampir 70% daftar pemilih tetap, memberikan hak pilihnya. Ini
adalah proggres demokrasi yang cukup signifikan di Desa Kedungsalam.
Setelah proses-proses politik selesai, situasi desa
kembali berjalan normal. Hiruk pikuk warga dalam pesta demokrasi desa berakhir
dengan kembalinya kehidupan sebagaimana awal mulanya. Masyarakat tidak terus
menerus terjebak dalam sekat-sekat kelompok pilihannya. Hal ini ditandai dengan
kehidupan yang penuh tolong menolong maupun gotong royong.
Walaupun pola kepemimpinan ada di Kepala Desa namun
mekanisme pengambilan keputusan selalu ada pelibatan masyarakat baik lewat
lembaga resmi desa seperti Badan Perwakilan Desa maupun lewat masyarakat
langsung. Dengan demikian terlihat bahwa pola kepemimpinan di Wilayah Desa
Kedungsalam mengedepankan pola kepemimpinan yang demokratis.
Berdasarkan deskripsi beberapa fakta di atas, dapat dipahami bahwa Desa Kedungsalam mempunyai dinamika politik lokal yang bagus. Hal ini terlihat baik dari segi pola kepemimpinan, mekanisme pemilihan kepemimpinan, sampai dengan partisipasi masyarakat dalam menerapkan sistem politik demokratis ke dalam kehidupan politik lokal. Tetapi terhadap minat politik daerah dan nasional terlihat masih kurang antusias. Hal ini dapat dimengerti dikarenakan dinamika politik nasional dalam kehidupan keseharian masyarakat Desa Kedungsalam kurang mempunyai greget, terutama yang berkaitan dengan permasalahan, kebutuhan dan kepentingan masyarakat secara
Berdasarkan deskripsi beberapa fakta di atas, dapat dipahami bahwa Desa Kedungsalam mempunyai dinamika politik lokal yang bagus. Hal ini terlihat baik dari segi pola kepemimpinan, mekanisme pemilihan kepemimpinan, sampai dengan partisipasi masyarakat dalam menerapkan sistem politik demokratis ke dalam kehidupan politik lokal. Tetapi terhadap minat politik daerah dan nasional terlihat masih kurang antusias. Hal ini dapat dimengerti dikarenakan dinamika politik nasional dalam kehidupan keseharian masyarakat Desa Kedungsalam kurang mempunyai greget, terutama yang berkaitan dengan permasalahan, kebutuhan dan kepentingan masyarakat secara
langsung.
Hal ini tergambar dari dipakainya kalender Jawa/ Islam, masih adanya budaya
nyadran, slametan, tahlilan, mithoni, dan lainnya, yang semuanya merefleksikan
sisi-sisi akulturasi budaya Islam dan Jawa.
Dengan semakin terbukanya masyarakat terhadap arus
informasi, hal-hal lama ini mulai mendapat respon dan tafsir balik dari
masyarakat. Hal ini menandai babak baru dinamika sosial dan budaya, sekaligus
tantangan baru bersama masyarakat Desa Kedungsalam. Dalam rangka merespon tradisi lama ini telah mewabah dan menjamur kelembagaan
sosial, politik, agama, dan budaya di Desa Kedungsalam. Tentunya hal ini
membutuhkan kearifan tersendiri, sebab walaupun secara budaya berlembaga dan
berorganisasi adalah baik tetapi secara sosiologis ia akan beresiko
menghadirkan kerawanan dan konflik sosial.
0 komentar:
Posting Komentar